Waktu sahur tiba, pagi itu aku sahur di rumahnya Bpk. Aziz. Maka selain makan sahur, akupun membicarakan obrolan dan keinginan dari Bapak Dwi Winarko terhadapku kepada Bpk. Aziz. “Tidak hanya Pak Win tadz, yang berkeinginan seperti itu (belajar membaca Al Qur’an),” kata Pak Aziz. “Tadi sore saya ngobrol dengan Bpk. Syaiful, katanya kampung sebelah juga ada yang ingin belajar membaca Al Qur’an.” Sambung Pak Aziz.
“Lalu bagaimana tentang penugasanku di Gunung Batin, jika aku memulai program ngaji Al Qur’an ini dimulai nanti.” aku bertanya pada beliau.
“Nanti insyaAlloh, saya bicarakan dengan ustadz Ikrom (koordinator penugasanku),” jawab Beliau.
Hingga tiba waktunya sholat subuh. Bakda subuh, yang sebenarnya saat itu adalah jadwalnya Ust. Fakr Rijal, karena beliau tidak hadir maka kesempatan itu kugunakan untuk kuliah subuh yang mengambil tema “Rasa sungkan menghalangi banyak kebaikan”. Pada saat subuh kusambung pula dengan penawaran pengajaran baca Al Qur’an metode TSAQIFA.
Respon sangat luar biasa, saat itu juga buku yang saya bawa dari panitia PRODIN pusat ludes diambil jama’ah. Dan merekapun langsung membuat program acara kajian TSAQIFA sendiri. Akupun hanya mengikuti. Sehingga disepakati, untuk ibu-ibu pada jam 10.00 pagi kemudian bapak-bapak bakda dhuhur. Itupun banyak yang usul, untuk waktu-waktu yang lain disesuaikan dengan jadwal mereka (yang kerja shift-shiftan di pabrik. Ngikut aja……….gan..!!!
TSAQIFA START……
Tapi buku tsaqifa tidak mencukupi. Akhirnya buku satu dipakai berdua oleh jama’ah ibu-ibu. “Tadz, boleh nggak diphoto copy, saya nggak bisa belajar di rumah bila tak punya pegangan,” kata salah seorang ibu. Yah….bingung juga saya menjawabnya. “Silahkah diphoto copy, tapi harus janji bila buku tsaqifa berikutnya sudah sampai, maka ibu-ibu harus beli. Sekarang pula saya pesan ke Solo untuk dipaket.kan buku tsaqifa.”jawabku.
Kepada panitia PRODIN pusat, sampaikan maafku pada Ust. Umar Taqwim, bukan maksudku membajak karya beliau, tapi desakan umat yang ingin menuntut ilmu yang memaksa aku mengijinkan menggandakan karya beliau.
Kajian pertama ini, selesai jam 11 siang. Karena sebagian ibu masih punya tanggungan untuk menjemput anaknya sekolah.
Setelah ibu-ibu selesai, aku kedatangan tamu namanya Pak Parno. “Tadz, saya ingin beli buku untuk belajar ngaji, bisa nggak ?” “Buku sudah habis Pak,” jawabku. “Kapan-kapan aja kalau paket sudah sampai.”
Dengan tidak menyerah Pak Parno menyambung,”…Tadz, saya harus disisain satu.” “Tapi nanti bisa nggak ya Tadz. Saya tidak pernah sekolah. Saya tidak bisa membaca sama sekali.” keraguan beliau mulai muncul. “Bagaimana dengan angka pak. Jenengan bisa tidak ? aku menyahut. “Saya hitung-hitung mentok angka 25, setelah itu saya bingung.” sambung beliau. “Yah, kita coba saja Pak,” jawabku juga agak ragu.Hingga
Waktu dhuhur tiba. Jam 12.45 kajian tsaqifa bagian ke duapun dimulai. Benar dugaanku, Pak Parno tidak bisa mengikuti. Maka kupanggil Ust. Rahmat untuk khusus mendampingi beliau belajar membaca tapi dengan metode IQRO'.
Pukul 2 siang, peserta kajian sudah merasa berat (maklum mereka pekerja kasar). Dan insyaAlloh dilanjutkan besok siang. Masih sisa satu jam sebelum asar, kesempatan itu kugunakan untuk……..untuk……..untuk…….TIDURRRRRR.
Jadwal bakda asar tetap, ngajar TPA bareng Ust. Rahmat. Hingga buka bersama dan sholat tarawih. Saat kultum kusampaikan materi “Syirik mahabbah / cinta”.
Bakda tarawih, saat aku mendampingi anak-anak TPA malam tadarus, aku didatangi Pak Yudhi. Dia mengatakan ingin belajar tsaqifa pula.
“Dimana pak tempatnya, di masjid masih ramai anak-anak tadarus.” Kataku.
“Bagaimana kalau di rumahku saja,tadz. Di sana agak tenang.” pinta beliau.
Malam itu juga aku yang diantar Pak Dwi Winarko ke rumah Pak Yudhi.
“Saya juga ingin mengulang,tadz,” kata Pak Win.
Taklim dimulai, pukul 9 malam hingga jam 11 malam. Suasana taklim agak santai. Ngaji sambil minum es cendol, sambil makan roti dan pisang goring, bahkan mereka berdua sambil “rokok”-an juga.
(Tapi ng-rokok-nya bakda taklim lho……)
Om Yudhi, serius tapi santai.
(Tapi ng-rokok-nya bakda taklim lho……)
Om Yudhi, serius tapi santai.
Pak Winarko, tak mau kalah dengan Om Yudhi.