Bakda subuh Ust. Ikrom pulang duluan. Aku masih di rumah Ust. Endang, karena hari itu aku dijadwal untuk ngisi kajian ummahat dan bapak-bapak.
"Sebelum taklim, kita-kita jalan-jalan dulu. Ada sesuatu yang akan aku tunjukkan," kata Ust. Endang. Jam menunjukkan pukul 7.30 ketika kami berdua berangkat meninggalkan rumah menuju ke suatu tempat yang aku tidak tahu kemana tujuannya.
Perjalanan kami menyusuri jalan-jalan desa di tengah-tengah belantara kebun singkong yang sangat luas dan ladang-ladang sawit.
Sekitar setengah jam perjalanan sampailah kami di suatu kampung tradisional. Kampung yang didiami oleh suku asli Lampung. "Kita berhasil membuka dakwah di sini," kata Ust. Endang. Suatu kampung yang sangat sederhana, bahkan listrikpun belum masuk di kawasan ini.
Hingga kami sampai pada sebuah masjid kecil yang kotor, yang terletak di samping sebuah ladang singkong yang luas.. Keadaannya sangat memprihatinkan, banyak genting yang pecah di sana-sini. Memang terkesan tidak terurus. "Di sinilah para penduduk sholat isya' dan tarawih," kata Ust. Endang.
Tak seberapa lama hadir seseorang laki-laki tua menemui kami. Dengan berbahasa Lampung asli yang aku tidak tahu maksudnya. Hanya Ust. Endang yang agak nyambung dengan "bahasa planet" tersebut. "Kita diundang mampir ke rumah pengurus takmir masjid ini," kata Ust. Endang. Ternyata beliau tadi adalah salah satu seorang jamaah yang aktif di masjid tersebut.
Bapak Abdullah namanya.
Tak seberapa jauh dari masjid, kami tiba di rumah Bapak Muhammad Amir, seorang tokoh masyarakat di Kampung Baru, Kecamatan Terusan Nunyai Kab. Lampung Tengah. Kamipun ngobrol dengan beliau bersama bapak Abdullah tadi. Walaupun dengan bahasa Indosesia "Yang Disempurnakan", tapi aku tetap agak sulit menerima pembicaraan beliau. Karena memang logat bahasa yang agak asing di telingaku.
Bapak Muhammad Amir.
Ust. Endang, yang setia sebagai "penerjemah" antara aku dengan beliau berdua.
Setelah ngobrol beberapa waktu, yang pada akhir pembicaraan mereka meminta agar aku menyisakan waktu untuk mengisi kajian di Masjid Al Fatah di Kampung beliau. Tawaran tersebut tentu saja tidak kami tolak, tinggal bagaimana Ust. Endang mengatur jadwalnya.
Maka sampailah waktunya kami kembali Masjid Ash Sholihin di Gunung Batin. Ini adalah jadwalku untuk mengisi kajian umum khusus untuk akhwat dan ummahat. Tidak seberapa para jama'ah sudah hadir. Tapi ternyata yang hadir tidak hanya akhwat / ummahat saja, yang mengantarnyapun juga ikut taklim. Jadi taklim itu berubah jadi tabligh 'amm. Materi yang kusampaikan pada kesempatan itu adalah tentang "Syirik".
Bakda dhuhur tugasku di Gunung Batin telah rampung. Sudah waktunya kembali ke Tanjung Anom untuk meneruskan aktivitasku di sana. Aku pulang dianter Ustadz Endang dengan sepeda motornya. "Tanggal 31 kembal ke sini lagi Tadz, untuk ngisi para akhwat di Mulya Asri. Saya minta antum bersedia, ini adalah permintaan ngisi yang terakhir di Gunung Batin," pinta Ustadz Endang.
Sesampai di Tanjung Anom, maka jadwalku beikutnnya sudah menunggu. Ya....jadwalnya tsaqifa di rumah Bapak Pardi. Jam 16.30 aku mulai mempersiapkan diri dan berangkat. Ketika sampai di rumah Bpk. Pardi, ada seseorang yang belum aku kenal sebelumnya. Usianya kira-kira sekitar 65 tahun. Sementara itu di sampingnya tampak Pak Syaiful sedang mengajari beliau tsaqifa.
Kemudian kamipun berkenalan. ternyata beliau adalah salah seorang purnawirawan yang masih tersisa di kawasan trans AD ini. Pak Ragimin namanya, yang asli Salatiga. Konon, beliau sebelumnya adalah penganut agama Katholik yang telah mendapatkan hidayah dan kemudian masuk ke dalam agama Islam.
Setelah acara tsaqifa di rumah Bapak Pardi, maka malam itu aku kosong acara kecuali kultum tarawih di masjid Al Falah Tanjung Anom. Malam ini kusampaikan materi "Iman kepada hari akhir - kemunculan Ya'juj dan Ma'juj".
Tsaqifa di rumah Bapak Yudhi masih libur, kemungkinan mereka dari peserta tsaqifa mengira aku masih di Gunung Batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar